Senin, Februari 11, 2008

REPRESENTASI KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK KEMANUSIAAN


Tanpa mengurangi makna headline Koran Seputar Indonesia (Koran Sindo) edisi mingu, 10 Februari 2007 tentang Pencanangan Gerakan Membaca Koran yang dihiasi dengan foto Bapak Presiden SBY saat membaca Koran Sindo di mimbar kepresidenannya, perkenankan saya hadir untuk mengomentari tulisan di halaman lain dengan berbagai pertimbangan atau alasan. Pertama, sebagai pembaca Koran Sindo ternyata ada persamaan rubrik kegemaran diantara sesama pembaca setia (termasuk Pak SBY) yaitu berita sepakbola. Sedang alasan kedua, karena percaturan politik saat ini di tanah air, memang belum menggemingkan minat saya untuk mengomentarinya.
Semoga pembenaran saya sudah dirasa cukup untuk hadir dengan, mengembangkan pemikiran yang diilhami isi pada halaman 16 Sindo edisi tersebut, tentang resensi buku yang berjudul Seruan Azan dari Puing WTC dari Imam Feisal Abdul Rauf .
Paska tragedi pengeboman gedung World Trade Center (WTC) tanggal 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat (AS), mengeluarkan pernyataan kontroversial “war and terror yang dalam prakteknya mendeskreditkan umat Islam, seolah sebagai pelaku dan penyebar teror. Walaupun hal ini telah disanggah pihak AS, dengan serentetan siaran radio dan televisi produksi Voice Of Amerika (VOA) dengan menyiarkan kondisi umat Islam di AS yang hidup aman, damai serta non diskriminatif sampai saat ini.
Melalui resensi buku yang ditulis oleh Mohamad Asrori Mulky, diungkapkan pemikiran Imam Feisal selaku Imam besar masjid AL Farah, tentang kemunculan citra negatif terhadap Islam di AS, yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh sentimen negatif pihak nonmuslim yang salah dalam melihat substansi Islam. Sebagian kecil umat Islam yang berperilaku agresif terhadap umat beragama lain, dipandang memiliki kontribusi positif terhadap pencitraan Islam itu sendiri di AS. Meskipun citra negatif karena hal tersebut bukanlah bersifat monotype, mengingat banyak faktor lain yang juga menjadi penyebab seperti faktor politik yang dengan sengaja membangun dukungan dan kekuatan masa di dalam maupun di luar AS melalui “penciptaan musuh bersama” yaitu terorisme yang telah diidentikkan dengan Islam.
Memang sekecil apapun esensi kebijakan publik suatu negara, pasti akan menimbulkan pengaruh terhadap warna politik luar negeri dari negara bersangkutan, dan itulah yang terjadi pada pemerintah AS saat ini, seperti yang ditulis oleh Rahmadya Putra Nugraha dalam penelitian ilmiahnya yang berjudul “Upaya Diplomasi Publik VOA ke Indonesia terhadap citra AS” (Prof.DR.Moestopo University, 2008).
Yang menarik dari pemikiran Imam Feisal adalah, upayanya untuk menjembatani adanya pelurusan terhadap miskonsepsi nilai-nilai dari ajaran Islam, melalui dialog yang bersandar pada tiga pilar yaitu iman, peradaban dan kebudayaan. Setidaknya ada dua argumentasi utama yang membingkai preambule dukungan terhadap dialog tersebut yaitu; pertama, adanya akar yang sama sebagai elemen dasar tuntunan agama Yahudi, Kristen dan Islam sendiri yaitu etika Ibrahim. Ketiga agama tersebut memang mengakui keberadaan tuntunan Nabi Ibrahim, sebagai pendahulu yang sekaligus mengajarkan untuk senantiasa mencintai Tuhan, serta sesama umat manusia tanpa melihat perbedaan ras, agama ataupun latar belakang budayanya. Hal yang kedua, adanya kesamaan mendasar antara nilai-nilai Islami dengan nilai-nilai dasar Konstitusi AS yang menekankan prinsip kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan manakala Imam Feisal sebagai warga AS yang berkeyakinan Islam dan secara faktual adalah kaum minoritas, menyatakan hal itu sebagai suatu fakta kebenaran dan tidak semata-mata sebagai upaya pembenaran.
Di Indonesia tercinta, lebih menarik lagi dengan adanya hal yang sama seperti di atas, namun hal itu justru dilakukan oleh pimpinan umat nonmuslim, yang dengan gigih melakukan pengembangan dialog antar agama agar memperoleh eksistensi ke”warga negara”annya melalui perolehan perlindungan serta perlakuan secara adil sebagai sesama hamba Tuhan. Bukankah Muhammad Rasulullah sendiri mencontohkan kepada pengikutnya untuk menghormati hamba Tuhan nonmuslim saat bertamu, dengan menyediakan fasilitasi melakukan ritual keyakinan agama lain di rumah beliau. Bahkan Tuhan-pun telah berfirman untuk menghormati adanya perbedaan keyakinan beragama tersebut dengan “lakum dinukum waliyadhin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).

Hakekat dari pemikiran secara fundamental terhadap tulisan saya ini adalah, hubungan kemanusiaan yang bernilai serta berbobot humanism-kulturalism antara sesama hamba Tuhan adalah menjadi kewajiban kita semua untuk menghormatinya, namun tidak harus dengan melakukan ritual agama secara bersama, karena memang hakekatnya Tuhan telah menciptakan adanya perbedaan tersebut sebagai rahmat, dan bukan sebagai pemecah belah, apalagi pemusnah antar sesamanya. Dan selayaknya kebijakan publik yang dijalankan melalui komunikasi publik suatu negara, juga bertujuan pada nilai-nilai kemanusaan yang sama.
Secara lugas dan terbuka perlu disampaikan bahwa memang Tuhan tidak menciptakan “Agama Bersama” bagi hamba-hambaNya, karena dengan keberbedaan yang ada, kita justru dapat hidup “bebas dan merdeka dalam beragama, serta saling menghormatinya”, bukankah Tuhan yang Maha Tahu tentang kebaikan dibalik semua hal ini.

Mungkin, itulah hakekat sebenarnya dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

Tidak ada komentar: