Minggu, September 21, 2008

BICARA GENDER


Kemarin, saya menemukan dialog dalam komunitas mahasiswi (di depan lift lantai 1) Kampus Ciputat, membahas tentang persamaan gender yang begitu menarik !. Agar dapat mendengarkan lebih intens, saya sengaja tidak segera masuk ke dalam lift sehingga bisa lebih lengkap mendengar perbincangan mereka. Salah satu mahasiswi (senior) menegaskan bahwa "kita (kaum perempuan) harus menuntut persamaan hak yang benar-benar setara dengan kaum pria. Pokoknya harus bisa jadi pemimpin di mana saja, seperti halnya kaum pria. Itulah inti dari perjuanagn persamaan gender yang kta perjuangkan". Sayang sang mahasiswa senior tadi tidak menjelaskan lebih lanjut tentang makna "setara", karena ada muatan emosional saat mengucapkan kata "pokoknya".


Di tayangan televisi saya pernah menonton perdebatan antara tokoh perempuan Indonesia yang sedang mencalonkan diri menjadi presiden pada Pemilu 2009, dengan seorang Ustads tentang pandangan agama (Islam) terhadap masalah persamaan gender ini. Bahkan 2 hari yang lalu saya juga menikmati siaran TV yang menayangkan wawancara Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan tentang masalah ini, melalui konteks persinggungan budaya (Jawa) perihal istilah "konco wingking" dan Letak Gedung Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang posisinya masih berada dibelakang Gedung Kantor Kementerian yang lain.

Secara pribadi, saya sangat setuju dan mendukung perjuangan kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya yang (mungkin banyak) tertindas atau terabaikan, hanya karena agama yang saya yakini (Islam) memang memposisikan perempuan di tempat yang sangat istimewa. Bukan karena saya dilahirkan oleh seorang perempuan atau karena istri saya seorang perempuan. Atas dasar keyakinan saya itulah maka seluruh kaidah Islamiyah, saya upayakan untuk senantiasa saya jalani, demi mecari keridhaan Allah s.w.t.semata, dan bukan untuk hal yang lain (yang dapat menyeret saya pada kemusrikkan karena menduakan Allah) .

Oleh karena itu saat Rosulllah ditanya oleh seorang pria, "wahai Rosulullah, siapa orang yang pertama kali harus saya hormati di dunia ini ?, maka Rosulullah menjawab "Ibumu !". "Setelah itu siapa yang harus saya hormati wahai Rosulullah".jawab Rosulullah "Ibumu !" . Kemudian sang pria tersebut melanjutkan pertanyaannya lagi kepada Rosulullah "Siapa lagi setelah itu ya Rosulullah ?", dan sekali lagi Rosulullah menjawab dengan tegas "Ibumu ! dan setelah itu baru Bapakmu !".

Islam tanpa ragu-ragu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya (laki-laki ataupun perempuan)untuk menghormati ibu-nya (yang notabene adalah perempuan) maka tidak ada tawaran lain bagi saya selain untuk melakukan rasa hormat menurut kaidah agama maupun kaidah budaya. Sungguh Islam justru memberikan perlindungan kepada kaum perempuan dengan ajarannya, sehingga tak satupun ada perintah Allah di dalam Al Qur'an yang beresensi paradoks merendahkan martabat kaum perempuan. Itu sebabnya kajian terhadap ajaran Islam yang menyangkut fiqih perempuan/fiqih wanita hendaknya dicermati dengan kesungguhan hati, dan bukan dengan "pokoknya" yang berkonotatif keputusasaan. Yakinlah bahwa agama memang berasal dari Allah yang Maha Suci dan PASTI TERBEBAS dari noda kesalahan. Hanya keterbatasan berfikir kita sajalah yang menimbulkan kekeliruan,kesalahan dan dosa sebagai refleksi sifat bawaan seorang hamba.

Sungguh, hak istimewa seorang perempuan di mata Islam, bukan sekedar menuntut penghapusan etika budaya tentang istilah "konco wingking" atau memindahkan gedung kantor agar posisinya sejajar secara matematis maupun garis pandangan mata sejajar tanpa selisih satu senti meter-pun dengan "kantor lain" (yang berkonotatif pria punya kuasa). Hak istimewa seorang perempuan (ibu) di dalam Islam, justru menempatkan seorang ibu (perempuan)TIDAK SAMA dengan penghormatan seorang anak kepada bapaknya (pria), dan ini merupakan konskuensi logis yang harus diterima oleh seluruh penganut Islam yang taat (termasuk seluruh pria muslim tanpa kecuali), yang tidak peragu dan yang tidak mengimani keyakinan lain selain Islam itu sendiri !. Kalau dalam hal menjadi imam Sholat dipertanyakan hak seorang pria memimpinnya, bukan berati meragukan keimanan dan kekusyukan sholatnya kaum perempuan, akan tetapi memang Allah memberikan ketentuan imam sholat haruslah seorang pria (saat makmumnya pria dan perempuan). Sama halnya tidak seorangpun diantara kita bisa menjawab mengapa tak seorang perempuan-pun di dunia ini yang diangkat oleh Allah menjadi seorang nabi atau rosulNYA, tentu hak ini bukan karena alasan KEADILAN GENDER, akan tetapi hak Allah sebagai Sang Pencipta.

Diskusi persamaan hak tentang gender mudah-mudahan tidak kepleset pada otoritas kaum perempuan untuk hamil dan (maaf) dihamili. Karena saya kelewat takut perkembangan Genetic Engineering ke depan akan merekayasa lahirnya pria-pria yang memiliki organ kandungan (Tuba Uterina) lengkap dengan ovarium dan ovum-nya bahkan sekalian dengan hormon kewanitaannya. Malapetaka ini bukan cuma karena terinspirasi skenario film Holywood yang dibintangi sang Gubernur, Arnold Swasenerger?, akan tetapi terlebih adanya peringatan Tuhan, sekian ribu tahun yang lampau, agar kita tidak berbuat melampaui batas, seperti kaum Sodom dan Gomorah.

Saya cium telapak kaki dan jemari kaki mungil Ibu, saat saya mohon ampun dan menyesali diri atas dosa dan seluruh kesalahan, (setiap kali saya sowan di bulan Syawal/Lebaran), itupun tidak akan sepadan dengan pengorbanan ibu saya saat menjalani tugas fitrohnya sebagai seorang perempuan (yang melahirkan dan membesarkan anak dengan keichlasan cintanya) Saya juga berharap agar kaum perempuan tidak terpeleset dengan membenci kodratnya sebagai seorang perempuan, yang justru dimuliakan di hadapan Allah. Ada suatu peristiwa yang diyakinkan oleh Rosulullah kepada kita, bahwa seorang perempuan pelacur, saat menjumpai seekor anjing buduk yang sekarat dan kehausan, diberinya minum air yang diambil dengan sepatunya. Ternyata perbuatan perempuan yang mengasihi hewan ciptaan Tuhan itu, memperoleh jaminan surga jannatinnaim. Subhanallah...

Sebaliknya tidak ada satupun ayat-ayat Al Qur'an yang memberikan hak istimewa kepada kaum pria penzina untuk melenggang masuk sorga tanpa chisab serta taubat yang diterimaNYA.

Kita syukuri keberadaann kita sebagai pria ataupun wanita/perempuan dengan hak-haknya yang telah diatur oleh Allah s.w.t di dalam kaidah agama, seperti yang telah dilakukan oleh presiden ke lima RI dengan mencantumkan nama seorang pria (bapaknya) di belakang namanya sendiri, dan ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan menggunakan nama resmi beliau Meutia Hatta dan bukan Meutia Rahmi (nama seorang perempuan yaitu ibunya).Tidak pula mengurangi rasa hormat seluruh rakyat Indonesia terhadap Ibu negara kita yang mencantumkan nama suami (nama pria dibelakang nama beliau) yaitu Ani Susilo Bambang Yudhoyono, atau almarhum mantan ibunegara kita yang dulu Ibu Tien Suharto, maupun Ibu Fatmawati Soekarno.

Banyak perempuan yang kita temui melajang atau sedang melajang bahkan pejuang kesetaraan gender, ternyata tidak ingin mencantumkan nama seorang pria(nama Bapaknya apalagi mantan suaminya?) namun kenyataannya dia tetap mencantumkan nama marganya yang notabene adalah nama seorang pria !.

Ya.. kita hormati saja.....karena itu memang haknya !.

Kamis, Agustus 14, 2008

FUNGSIONAL OTAK DALAM KEBERAGAMAAN

Agama diperuntukkan hanya untuk hamba Tuhan yang ber-akal”. Hampir semua dari kita tahu dan setuju dengan kalimat pembuka di atas, tidak hanya karena kondisi faktual yang sering ditemui memang mengungkapkan hal itu. Ibarat organ tubuh yang lain boleh cacat, terganggu fungsinya bahkan rusak sekalipun namun selama otaknya sebagai tempat berfikir dan memproduksi akal tetap berproses, maka seseorang tersebut masih secara fungsional disebut manusia (yang ber-akal). Mata sebagai indera penglihat adalah penting, lidah sebagai indera pengecap dan alat bantu berbicara serta menelan juga penting, bahkan rambut, kulit, kuku, telinga, sampai ke anus dan organ reproduksi juga penting, namun otak tetaplah menjadi yang sangat penting.

Banyak contoh kerusakan yang terjadi pada organ seseorang, masih dapat ditanggulangi secara medis (sains dan teknologi kedokteran), seperti halnya yang dialami oleh Prof.DR.Burhanuddin Jusuf Habibie yang fungsi pacu jantungnya “ngadat dan rusak”, kemudian dapat hidup normal dengan menggunakan mesin pemacu jantung (pacemaker) saat memimpin dan menyelamatkan negeri ini dari keadaan kritis dan krisis, bahkan sehat sampai sekarang. Bangsa ini juga tak akan pernah lupa dengan Panglima Besar Jendral Sudirman, yang keluar masuk hutan saat memimpin perang gerilya melawan penjajah Belanda hanya dengan satu paru-nya saja. Bahkan saat ini telah pula diperdagangkan organ ginjal di China sebagai alternatif penyembuhan gagal ginjal, sementara si pemilik ginjal dapat hidup normal dengan satu ginjal saja. Namun hal sebaliknya juga terjadi pada diri almarhum Pak Harto (mantan Presiden RI ke 2) yang secara “fisik” organ di luar otak beliau dalam keadaan normal, namun karena “stroke” yang dideritanya telah menyebabkan fungsi otaknya “menjadi tumpul” sehingga tim dokter yang memeriksanya membuat kesimpulan medis bahwa beliau tidak mampu mengingat dan bercerita tentang hal-hal yang dialami jauh sebelumnya. Bahkan Taufik Pasiak di dalam bukunya (Revolusi IQ,EQ,SQ, Mizan, 2002 halaman 317) menyebutkan “ketika seseorang mengalami stroke dapat mengakibatkan perubahan kepribadian yang dramatis”.
Perubahan dramatis yang paling tragis adalah kehilangan akal, dan kondisi seperti ini dinamakan perubahan yang menyebabkan seseorang keluar dari jati diri nya. Betapa tidak, seseorang yang semula ekstrofet, suka bercanda dan tertawa, terbuka dan sosialitasnya tinggi, setelah mengalami gangguan otak tiba-tiba menjadi seorang yang introfet, pemurung, suka menyendiri, dan nyaris ingin mengakhiri hidupnya sendiri.
Dari tinjauan anatomis otak manusia, dapat dijelaskan bahwa sejak perkembangan embryologis di dalam rahim ibu, organ ini telah memperoleh keistimewaan khusus dengan pertumbuhan yang sangat cepat dibanding organ tubuh yang lain, serta berada dalam perlindungan berlapis mulai dari tulang-tulang tengkorak kepala di bagian luar serta cairan cerebrospinalis yang berperan sebagai suspensi/shockbreker di bagian tengah dan lapisan luar otak (mening) di bagian terdalam. Ibarat sebuah produksi, itulah harga mahal yang harus dibayar untuk melakukan pengelolaan perawatan terhadap otak seseorang. Pertumbuhan otak terus berlangsung walaupun seseorang telah dilahirkan bahkan tumbuh dan berkembang menjadi anak, remaja dan dewasa. Tak sedikit pula seseorang mengalami pertumbuhan otak di luar kemauan serta kontrol dirinya, bahkan kalau otak dipelihara dan dirawat dengan baik, maka semakin bertambah usia seseorang semakin bertambah pula aktivitas otaknya dan nyaris masih dapat berfungsi dengan normal melayani kebutuhan kita sampai satu abad lamanya, sementara pada organ yang lain justru akan terjadi kemunduran fungsi setelah setengah abad dioperasikan.
Adanya potensi spiritual di dalam otak, telah diperkuat dengan 4 penelitian yang terus berlanjut sampai sekarang. Pertama, penelitian dari Denis Pare dan Rudolpho L tentang Osilasi 40 Hz, yang kemudian dikembangkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshal menjadi Spiritual Intelligence. Kedua, penelitian dari Joseph deLoux tentang aktivitas di bawah kesadaran kognitif, yang kemudian dikembangkan menjadi Emotional Intelligence oleh Daniel Golleman dan Robert Cooper. Ketiga, adanya area God Spot di pars temporalis yang ditemukan oleh Michael Persinger dan Vilyanur Ramachandran dan bukti penelitian keempat adalah adanya Somatic Marker yang diteliti oleh Antonio Damasio.
Keempat penelitian tersebut memberikan kontribusi pemikiran tentang adanya hati nurani atau intuisi di dalam otak manusia, yang senantiasa berperan serta dalam pengawalan kehidupan kemanusiaannya sejak awal mula kejadian. Pemikiran inilah yang menjadi tonggak dari konsepsi keyakinan bahwa kehidupan manusia memang tidak dapat terlepas dari Tuhan.Kinerja otak berproses melalui tahapan awal yang sederhana yaitu otak rasional dengan bantuan panca indera. Hampir seluruh aktivitas kita keseharian, merupakan hasil tangkapan pancaindera, yang kemudian direspon oleh otak rasional. Manakala kinerja otak rasional tidak lagi mampu memecahkan masalah, maka baru akan meningkat ke tahap kedua dengan menggunakan otak intuitif. Di saat kinerja dengan otak intuitif menemui kebuntuan, maka seluruh permasalahan akan diambil alih dengan penyelesaian melalui tahap ketiga yaitu otak spiritual. Betapa besar kemurahan Tuhan di dalam membimbing hambaNYA sampai perlu memberikan proses bertingkat di dalam setiap upaya pemecahan masalah. Bahkan begitu sayangnya Tuhan dengan manusia, maka muncul suatu pemikiran (filsafati) yang berkeyakinan bahwa dengan otak spiritual itulah pencarian panjang (melalui proses bertingkat dengan operasionalisasi otak rasional kemudian otak intuitif) akan memunculkan peluang seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhannya. Akselerasi perpindahan operasionalisasi otak rasional ke otak intuitif kemudian berpindah lagi ke tingkat penggunaan otak spiritual, sangat bergantung pada tingkat pengalaman penggunaan di masing-masing level serta kapasitas penggunaan pada setiap levelnya. Proses akselerasi tersebut menentukan tingkat kemampuan atau kecerdasan yang disebut dengan Spiritual Quotient.Sampai saat ini kita telah dapat mengenali adanya pilar-pilar kecerdasan yang menopang terwujudnya pencapaian Spiritual Quotient (kecerdasan Spiritual) yaitu Intelectual Quotient (IQ), Emosional Quotient (EQ), Creativity Quotient (CQ), Adversity Quotient (AQ) dan Social Quotient (SQ).

Betapa besar pengaruh kinerja otak manusia sebagai substrat kesadaran bagi kehidupan dan masa depannya, sehingga Tuhan membebaskan tugas dan tanggung jawab seorang hamba untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, manakala otaknya tidak berfungsi normal. Bayangkan bila seseorang mengalami disfungsi otak sampai pada tingkat kehilangan akalnya, walaupun badan jasmaninya sehat akan tetapi jiwanya terlepas sehingga tidak lagi berada di dalam gradasi hidup bersusila dan dan bersosial. Kalau saja di dalam acara ritual keagamaan, tiba-tiba muncul perilaku dari seseorang yang kehilangan akal (berteriak-teriak dalam keadaan tanpa busana alias telanjang saja), maka dapat dipastikan akan sangat mengganggu jalannya prosesi ritual keagamaan, sehingga perlu memblokade orang yang berperilaku menyimpang tersebut ke tempat rehabilitasi atau bahkan mungkin isolasi. Tragis, akan tetapi itulah yang terjadi.Oleh karenanya melalui proses pada level pertama dengan otak rasional, semestinya kita senantiasa bersyukur kepada Tuhan, karena kita berada pada posisi yang sangat beruntung dapat menyelesaiakan seluruh permasalahan duniawi melalui level kedua (otak intuitif) maupun melalui level tertinggi yaitu otak spiritual untuk dapat bertemu dengan Sang Maha Pencipta!. Ternyata Tuhan Maha Pemurah karena tidak perlu perkecualian (ekseption) lagi bagi kita, sehingga kita dapat menggunakan sekaligus tiga tingkatan berfikir dari fungsional otak kita, lalu mengapa tidak kita segerakan (akseleratif) untuk melangkah lebih cepat dan lebih cepat lagi agar kelak dapat mencapai dan menggapai tempat bersimpuh di hadapan Tuhan yang kita cintai dan mencintai kita?.Sekarang terserah anda masing-masing untuk memaknainya.

Senin, Juli 14, 2008

IMAN


Sabtu pagi, acara rutin bersama pak Ustadz dihadiri cukup banyak warga jamaah subuh keliling Cijantung, Kalisari, Baru dan Pekayon. Topik sajian yang disampaikan pak Ustadz kali ini cukup menarik, menyangkut masalah iman.

Menurut pak Ustadz keberagamaan seseorang bisa melewati tiga cara, yang pertama melewati pikirannya (kognisi) sehingga segala sesuatu tentang ajaran agama akan dilogikakan seperti tuntutan pikiran atau kaidah metode ilmiah yang difahaminya. Yang kedua, melewati aspek pelaksanaan ragawinya (psikomotorik) sehingga lebih mementingkan bagaimana realisasi pelaksanaan ibadah secara kasat mata. Pola aktivitasnya mendahulukan perilaku kinestetik dan pertimbangan kaidahnya menjadi urusan belakang. Yang ketiga adalah melaksanakan perintah agama dengan keyakinannya (afeksi), sehingga seluruh aktivitas keberagamaannya didasari oleh nilai bathiniyah yang menghamba hanya kepada Allah semata. Tentu saja langkah ketiga ini hanya dapat dilaksanakan setelah seseorang mengetahui, mengerti dan memahami esensi dari kaidah agama yang diyakini.


Iman dari sisi etimologi-nya berakar dari kata aman, sehingga manakala seseorang benar-benar beriman kepada yang diimaninya, maka dirinya akan merasa aman (dan tenteram) . Demikian pula manakala seorang hamba Tuhan beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa, maka saat dirinya berbuat "makruf" dengan mengikuti seluruh perintah dari Allah SWT (yang dia imani), tak akan sedikitpun dirinya merasa takut kepada yang lain. Bukankah yang diimani adalah Yang Maha Kuasa untuk mengatur segalanya dengan rahman dan rahimNYA?.

Demikian pula sebaliknya, manakala diri seorang hamba akan melakukan ke"munkar"an dengan melanggar perintah Allah, maka seluruh pertimbangan akal pikirannya (kognisi)nya akan berusaha menganalisis serta mencocokkan dengan kata hati (qolbu)nya, sehingga hasil akhir yang akan dilaksanakan sebagai aktivitas psikomotor merupakan hasil pengambilan keputusan berdasar sintesis dan evaluasi ketiga (aspek kognisi, afeksi dan psikomotori) nya.

Begitu indahnya sistem pengambilan keputusan yang diberikan Allah SWT kepada kita, sehingga hambaNya dapat secara bebas (demokratis) menyusun variabel dari sub sistem yang membangun pikirannya, guna menarik kesimpulan dari setiap penelitian (pemecahan masalah) yang dihadapinya.

Hanya orang yang ber"iman" saja yang mampu melakukan seutuhnya perintah Allah dan menghindari seluruh larangan Allah (amar makruf nahi munkar). Sayang tidak banyak diantara kita yang memahami hal ini, sehingga nikmat Allah yang begitu besar (berupa iman), tidak mampu ditangkap dengan segenap kemampuan indrawinya. Ibarat seekor kambing yang hanya mampu menangkap kenikmatan sekeranjang rumput, namun tetap mengabaikan sebongkah intan berlian yang ada di samping keranjang rumput.

Allah Maha Besar, dan hanya Allah yang Maha Mengetahui tentang hambaNYA. Namun tetap lebih baik kita selalu bermohon melalui segenap "doa", agar akhir hidup kita kelak berada dalam keadaan Chusnul Chotimah karena berpegang teguh pada keimanan. Amien.


catatan : anak bungsu saya bernama Iman Akbar, suatu doa Saya kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang agar kelak setelah dewasa iman anak saya kokoh,kuat dan tidak tergoyahkan oleh perubahan yang menggoda keyakinannya.

Minggu, Mei 18, 2008

SEKOLAH MASA DEPAN di SINGAPURA

Tahun lalu (Mei 2007), saat diminta menjadi moderator pada Seminar Upaya Peningkatan Mutu Sekolah Bertaraf Internasional di Balai Kartini Jakarta, Saya sudah mengingatkan teman-teman pelakon pendidikan internasional, bahwa Singapura tidak tinggal diam setelah banyak calon siswa mereka yang berasal dari Indonesia beralih ke program pendidikan bertaraf internasional di dalam negerinya sendiri. Salah satu upaya Singapura waktu itu adalah meninggalkan standar mutu internasional "CAMBRIDGE" yang digunakan oleh sekolah-sekolah kita di dalam negeri, dengan standar baru Singapura yang di desain memiliki keunggulan di atas standar CAMBRIDGE.

Dan seperti biasa reaksi teman-teman peserta seminar dan pelakon Sekolah Internasional yang hadir ternyata "tidak bereaksi, bahkan nyaris EGP (Emang Gua Pikirin), atau lebih pantas ditulis disini sebagai omongan orang aneh. Bagi saya perlakuan seperti itu sudah menjadi kebiasaan, karena seringnya pikiran saya dianggap aneh-aneh dan tidak dipahami.
Sebagai contoh adalah ceramah saya di Aula Masjid Dinas Dikmenti Provinsi DKI Jakarta tahun 2005, dihadapan para Kepala-kepala SMA Negeri se Jakarta, saya mengungkapkan perkembangan ekonomi yang spektakuler dari China dan India sebagai dampak positif kontribusi pembangunan sektor pendidikan yang juga sangat maju. Saat itu tidak satupun seorang peserta seminar/ceramah yang tertarik untuk menanggapinya, bahkan ada yang bergumam apa hubungannya tugas Kepala Sekolah dengan kemajuan pertumbuhan ekonomi di atas 11% dan 9% dengan kemajuan pendidikan China dan India?. Sungguh saya memang harus lebih banyak lagi belajar..."bersabar"...untuk menunggu, atau memang apa yang ada di benak saya saat itu salah tempat dan salah waktu.

Hari ini ( Sabtu, 17 Mei 2008) saya memperoleh informasi Koran SINDO yang merilisnya dari salah satu Media Corp Singapura yaitu surat kabar ToDAY (www.todayonline.com) tentang SEKOLAH MASA DEPAN di SINGAPURA yang sudah pernah saya dengar dan ketahui sejak tahun 2005 melalui seorang pembicara tamu dari Singapura (Pak Chong) dengan informasinya tentang IDE CENTRE sebagai induk dari Technoprenership yang sedang berkembang saat itu.SEKOLAH MASA DEPAN yang sedang digarap di Singapura, merupakan sekolah yang berbasis ICT (Information Communication and Technologi) secara riil. Artinya seorang pembelajar akan terfalitasi kebutuhan belajarnya dengan sarana ICT yang ada, seperti halnya berkomunikasi langsung via internet dengan pakar sains biologi saat sang pembelajar berada di Kebun Binatang sambil secara aktif melaporkan aktivitas pengamatannya melalui note-book komputer yang ada di tangannya, sementara pembelajar yang berhalangan hadir mengikuti studi ekskursie di lapangan, dapat menggunakan fasilitas ICT sehingga seolah-oleh dirinya juga sedang berada di hutan atau kebun binatang sebagai "habitat" dari objek biologi yang dipelajari.
Ruang Kelas disini bisa secara mendadak berubah menjadi "hutan virtual" sehingga siswa dapat meneliti spesies yang tidak pernah mereka temukan di dalam lingkungan rumah mereka, serta mendiskusikannya (via internet) bahkan dengan para ahli klasifikasi hewan maupun tumbuhan sekalipun. Inilah yang disebut dengan Kelas Empat Dimensi dari Sekolah Masa Depan. Kelas yang mampu memfasilitasi praktikum kimia, tanpa bahan kimia dan tanpa takut terjadi kerusakan atau ledakkan sebagai akibat kesalahan reaksi, karena dilakukan secara "maya" melalui tangan-tangan yang aktif memegang "gambar/bayangan" peralatan kimia (tabung reaki, pipet, corong, erlen meyer, statif, pipa ukur), lengkap dengan perubahan warna hasil reaksi serta simulasi asap serta bau yang ditimbulkannya. Laboratorium yang didukung oleh solusi teknologi bagi berlangsungnya PEMBELAJARAN KREATIF memang didesain sebagai laboratorium dengan fungsi multi-sensor disertai fasilitas ICT yang dapat meniru berbagai macam lingkugan yang dibutuhkan pembelajar, sudah dapat dinikmati oleh para siswa mulai akhir tahun 2008 ini. Tak kurang dari 4 Konsorsium Internasional melibatkan diri ke dalam mega proyek spektakuler ini seperti Hewlett-Packard dari Inggris, Sing Tel, ST Technologies dan CIVICA, dengan biaya tak kurang dari $ 80 juta Singapura. Proyek ini sedang dipersiapkan di 5 Future School yaitu Beacon Primary, Canbera Primary, Cresent Girl's School, Hwa Chong Institution dan Jurong Secondary, termasuk pelatihan bagi para Guru yang akan siap melayani proses pembelajaran secara profesional.
Salah satu pejabat pada Kementerian Pendidikan Singapura, DR.Koh Thiam Seng mengatakan "ICT akan menghapuskan kendala sekat 4 sisi dinding kelas di sekolah dengan peluang pembelajaran sesuai dengan kebutuhan belajar siswa melalui fasilitasi secara utuh" (holistic). Sebelum tahun 2005, saya pernah meminta kepada pihak-pihak di sekolah untuk berani melakukan perubahan layanan laboratorium konvensional IPA dengan "VIRTUAL LAB" melalui ruang audio visual dengan bermodalkan hard-ware in-focus dan PC Computerdan soft-ware praktikum IPA di sekolah.Kelebihan virtual lab antar lain keleluasaan manipulasi serta keamanan bekerja serta murahnya biaya yang terbebas dari bahan kimia (yang sangat mahal harganya). Salah satu kelemahannya adalah rendahnya aktivitas kinestikal yang hanya di dominasi penggunaan jari-jari di atas keyboard komputer, namun sekarang sudah dapat tereduksi dengan aktivitas maya model "touchscreen" pada gambar/bayangan objek benda yang dipegang atau digerakkan dengan tangan-tangan pembelajar.

Kalau saat ini ratio penggunaan komputer di sekolah kita baru pada posisi 1:20.000 maka dalam waktu singkat kita berupaya merubahnya (secara spektakuler??) menjadi 1:20, walaupun salah satu negara miskin di Afrika sudah memulai proyek PBB dengan ONE LAP-TOP, ONE CHILD. Terserah bagaimana kita mensikapinya, apakah tetap terdiam dan terpaku karena ketidak fahaman, atau memang sudah menjadi hobby menurun yang lebih senang menonton saja.

Ya Ampuuuuuun.....geregatan sendiri aku!!!!!

Jumat, Maret 07, 2008

UJIAN


Pagi-pagi seperti biasa, acara saya nonton TV dimulai dengan menikmati acara Mama dan Aa “curhat doong” di chanel Indosiar dengan tema curhatnya adalah “sombong?, ke laut saja”. Yang secara spesial melekat di benak saya pagi tadi adalah ungkapan Mama Dedeh (Ustadzah Dedeh), bahwa setiap manusia akan menerima ujian dari Allah dan tinggal bagaimana cara kita menyikapi atau memaknai ujian tersebut.
Ada dua macam ujian yaitu ujian yang “hasanah” dan ujian yang “syaiah”. Termasuk di dalam peristiwa ujian “syaiah” misalnya musibah sakit, usaha bangkrut, ditipu orang, kecelakaan, bencana dan sebagainya. Kemudian Mama Dedeh berkata kalau ujian yang “hasanah” contohnya antara lain “naik pangkat dan jabatan gratis”, atau “dapat penghargaan dan pujian gratiiis”, atau “dapat istri gratiiis”, atau “dapat rumah baru gratiiis”. Semula saya tersenyum simpul sendiri saat mendengar ungkapan “dapat istri gratis”, namun setelah saya “cerdasi” sendiri, ternyata benar adanya. Memiliki seorang istri atau suami bagi setiap hamba Allah adalah ujian, dan bisa jadi ujian yang “syaiah” atau ujian yang “hasanah” tergantung dari kenyataan yang kita hadapi di dalam rumah tangga masing-masing.
Setelah berumah tangga 32 tahun lamanya, saya baru menyadari betul, bahwa apapun keadaannya bagi setiap suami atau istri, memiliki pasangan hidup itu adalah juga ujian dari Allah SWT, agar dapat berbakti serta tetap mencintaiNya. Banyak yang tidak memahami masalah ini, sehingga seringkali merespon ujian (terutama yang “syaiah”) dengan kemarahan, kekesalan, umpatan, keluhan, kekerasan, penghianatan bahkan dengan hujatan tidak saja kepada pasangannya, akan tetapi juga banyak yang mengalamatkan kepada Sang Pemberi Ujian yaitu Allah Swt. Astaghfirullahaladziim, mungkin saya dan anda pernah melakukannya, karena ketidakfahaman atau keterbatasan akan adanya ujian yang diberikan Sang Maha Kasih kepada hambaNya. Namun tidak perlu berkecil hati, karena saat saya dan anda (kita) tidak lulus pada ujian yang satu, maka dihadapan kita telah disajikan ujian berikutnya, sehingga kita memperoleh peluang untuk selalu meningkatkan kualitas (Quality improvement) keimanan kita. Dan janganlah pernah berpikir bahwa saat kita mampu menghujat setiap ujian yang adatang, maka ujian berikutnya akan berhenti menghampiri kita. Kalau ujian diposisikan seperti ini, maka ujian menjadi hak dari manusia, sehingga sifat keadilan dan kesetaraan Allah, dapat dinikmati oleh setiap hamba Allah, siapapun dia, setinggi apapun jabatan atau pangkatnya, sekaya apapun harta duniawinya, dan last but not least sepandai atau secerdas apapun otaknya.
Oleh karena itu hendaknya kita tidak terpeleset untuk menggunggat ujian yang menjadi hak kita sendiri.
Akan lebih baik manakala mensikapi setiap ujian yang diterima, menjalaninya dengan sabar, ikhlas, tawakal, amanah dan senantiasa mensyukuri datangnya ujian tersebut. Di dalam pengajian malam jum’at (tadi malam) pak Ustadz mengatakan bahwa sifat yang pandai mensyukuri pemberian (ujian) Allah, disebut dengan “syakiir” sedangkan sifat yang lebih dan lebih lagi mensyukuri nikmat Allah, disebut dengan “syakur”. Identitas hamba Allah yang “syakur” dapat dilihat dari sikapnya saat menghadapi ujian Allah, misalnya mendapatkan penyakit, kemudian dari hasil evaluasi diri (self evaluation) seseorang mampu mensyukuri datangnya sakit tersebut, bukan sebagai malapetaka, akan tetapi sebagai peringatan Allah, bahwasanya Allah tetap memberika perhatian terhadap dirinya.
Subhanallah, Maha Suci Allah.


Cijantoeng tiga, saat sepi di rumah, 7 Maret 2008.

Rabu, Februari 20, 2008

PELAJAR MENOLAK DISIPLIN?

Pagi-pagi, tayangan layar kaca televisi mengejutkan saya dengan pemberitaan ngamuknya para pelajar SMA Swasta "P" di Jogyakarta, yang memporak-porandakan fasilitas sekolah dan menuntut turunnya Kepala Sekolah mereka, karena dianggap "TERLALU DISIPLIN"?.

Padahal beberapa hari sebelumnya, di dalam perkuliahan saya kepada para Guru TK, SD, SMP dan SLTA yang sedang mengikuti program S1, muncul pertanyaan menarik dari salah satu mahasiswi (Guru SLTP) seperti ini ; "pak bagaimana caranya mengatasi kebandelan seorang siswa yang selalu membuat ulah, bahkan rambutnya sudah di cat merah".
Kemudian saya balik bertanya kepada penanya (untuk menyelidik) "apakah di sekolah Anda ada butir Tata Tertib Sekolah yang melarang siswa untuk mengecat rambut, selain hitam?". Nampaknya pertanyaan balik saya justru mengherankan penanya, bahkan seluruh mahasiswa di kelas perkuliahan tersebut. Agar tidak semakin membingungkan maka saya langsung menjelaskan, bahwa Tata Tertib Sekolah itu adalah "komitmen bersama seluruh anggota Masyarakat Sekolah" , sehingga saat penyusunannya harus melewati proses demokratis (bisa sistem perwakilan) yang mencerminkan semua unsur di dalam Masyarakat Sekolah itu. Sebaiknya penyusunan dan atau pembahasan Tata Tertib Sekolah dilaksanakan pada Rapat Kerja Sekolah pada saat pennyiapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), karena Tata Tertib Sekolah adalah bagian dari KTSP itu sendiri. Hampir seluruh cetak biru yang bernama KTSP ini, akan menjadi tuntunan operasional penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah, seperti arti dari "kurikulum" itu sendiri. Komite Sekolah secara aktif menjadi bagian yang seharusnya mendorong terciptanya proses perubahan Paradigma Baru (New Paradigm) bahwa Sekolah harus menjadi tempat yang mampu mempelopori proses demokratisasi dan penegakkan HAM. Diawal reformasi dulu ada forum "Reformasi Pendidikan" yang secara aktif mencari formulasi untuk me "re-formasi"-kan masalah-masalah pendidikan di tanah air. Dan proses selanjutnya dari forum-forum seperti itu, sudah dapat kita tebak kelanjutan aktivitasnya yaitu "mati suri" alias bernyawa tapi tanpa makna, dan hal itu terjadi mudah-mudahan bukan karena saking sibuknya ketua forum.
Jadi idealnya, bukan hanya Tata Tertib Sekolah yang harus dijalankan "bersama" akan tetapi seluruh komponen di dalam KTSP yang telah disyahkan didepan Rapat Kerja Sekolah serta disetujui oleh pihak Dinas Pendidikan setempat juga harus diamankan agar tetap bisa berjalan (sesuai dengan proporsi dan tanggung jawab masing-masing unsur, termasuk peserta didik dan Guru serta Kepala Sekolah, Orang Tua Siswa, bahkan Penjaga Sekolah dan Bapak-Ibu Penjual makanan di Kantin Sekolah sekalipun). Memang ada prasyarat yang harus dipenuhi di dalam pemberlakuan ketetapan bersama seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan juga berlaku bagi ketetapan KTSP tersebut yaitu, kewajiban pihak tertentu (sekolah) untuk mengundangkannya atau mensosialisasikannya kepada setiap elemen dari unsur pembentuk masyarakat sekolah.
Bahkan di suatu sekolah di bilangan jalan Kramat Raya Jakarta yang saya temui (sekolah yang berkualitas bagus dan sangat dikenal oleh masyarakat) mencantumkan butir Tata Tertib Sekolah yang berbunyi "Peserta didik yang kedapatan menyontek saat ujian/ulangan berlangsung, bersedia dikelaurkan dari sekolah", dan setiap Orang Tua maupun Peserta didik bersangkutan menandatangani tanda persetujuannya.
Jangan lupa Pelaksanaan KTSP termasuk di dalamnya melaksanakan dan mengamankan "mutu hasil belajar" yang sudah ditetapkan di dalam Kriteria Kompetensi Minimal (KKM) tiap Mata Pelajaran. Seringkali pihak "sekolah" secara sepihak menganulir KKM dengan cara menurunkan Batas Minimal Kompetensi untuk "mengkatrol" nilai peserta didik yang tidak kompeten, pada Rapat Pleno Penetapan Kenaikan Kelas atau Kelulusan yang dipimpin oleh Kepala Sekolahnya. Sehingga saat peserta didik mengantarkan Orang tuanya untuk megambil rapor kepada WaliKelas-nya, yang semula merasakan "stress berat" karena takut gagal (tidak naik kelas atau tidak lulus), namun setelah melihat rapornya, peserta didik bersangkutan justru terheran-heran sambil bergumam "Lho kok naik kelas ya, padahal menurut perhitungan hasil ulangan harian, nilai tugas, dan nilai ulangan umum (blok), seharusnya aku nggak naik kelas". Maka sang peserta didik yang baru membaca dokumen rapor dengan predikat naik kelas atau lulus, berkata lagi " Yaah ...Maradona saja boleh berkata "tangan tuhan" yang digunakan untuk menceploskan bola ke gawang lawan saat tim Argentina menjuarai Piala Dunia, kenapa saya tidak, toh sama-sama keputusan yang salah dari wasit yang memimpin pertandingan saat itu ataupun keputusan rapat pleno penetapan kenaikan kelas saya, toh sama-sama tidak dapat di ralat lagi, pokoknya gue naik kelas, titik!".
Mungkin kita semua tidak menyadari bahwa kejadian seperti ini, merupakan awal muasal dari peristiwa yang sangat mengerikan kita semua sebagai bangsa, yaitu runtuhnya pendidikan moral kejujuran sekaligus "Pendidikan Korupsi".

Kejadian ngamuknya para pelajar SMA Swasta "P" di Jogyakarta, memang tidak terlepas dari berbagai pengaruh, termasuk peneladanan perilaku dan figur yang membanggakan (remaja). Pada kesempatan ini saya tidak ingin mengembangkan masalah perkembangan psikologi remaja sebagai salah satu penyebab tidak patuhnya peserta didik pada ketetapan hukum (Tata Tertib Sekolah) . Namun perlu pula kita renungkan bersama, bahwa selain lemahnya proses sosialisasi Tata Tertib Sekolah, masalah kejujuran adalah nafas dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan tanpa peneladanan kejujuran adalah kebohongan, dan kebohongan adalah kejahatan!, baru titik!.
Diperlukan analisis yang mendalam terhadap berbagai kasus serupa, seperti kejadian diberbagai daerah dengan ngamuknya para mahasiswa yang meluluh-lantakkan kampusnya sendiri, sebagai refleksi dari ketidakpuasan.

Minggu, Februari 17, 2008

MASA DEPAN MEMANG SELALU DIGENGGAMAN KITA


Masa depan sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing dari diri kita.
Masa depan hanyalah proses kelanjutan yang terjalin secara berkelanjutan.
Jika pada hari ini, kita telah "menciptakan solusi" untuk seluruh permasalahan yang kita hadapi, maka masa depan kita (di hari esok) akan selamat dan sukses.
Ciptakanlah solusi dari setiap permasalahan yang kita hadapi, karena permasalahan memang selalu ada di hadapan kita. Masa depan memang selalu ada digenggaman kita sendiri, karena Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang, manakala dirinya tidak merubah nasibnya sendiri.
Mengapa tidak kita mulai saja dari sekarang, pada permasalahan-permasalahan yang kecil terlebih dahulu, yang persis ada di hadapan kita.
Semoga dengan peningkatan frekuensi pelatihan untuk menciptakan solusi, kita dapat memposisikan diri di tempat yang dibutuhkan orang lain, untuk memberikan solusi terbaik!.
Salam,

Cijantung, 17 Februari 2008, saya Darsana Setiawan.

Sabtu, Februari 16, 2008

BANJIR, FENOMENA YANG MENGHIBUR DAN MENYENGSARAKAN




Bagi kita, seolah datangnya musim hujan dan terjadinya banjir bukan lagi merupakan suatu hal yang dikotomis, akan tetapi kejadian keduanya justru merupakan hal yang komplementer (saling mengisi). Namun kali ini saya tidak ingin mengangkat tulisan tentang pembangunan yang tidak “utuh” (holistic) serta tidak pula mampu melihat dan memprediksi jauh ke depan (outword-looking), sehingga terkesan sebagai program pembangunan tambal sulam, parsial, asal-asalan bahkan short term oriented pada pagu anggaran se-tahunan.

Saya hanya ingin mengenang masa kecil di tahun enampuluhan dengan banjir-nya kota kelahiran saya Kediri, yang terjadi pada setiap musim hujan. Apanya yang aneh dengan musibah banjir tahunan itu sehingga saya perlu menuliskan kembali “sesuatu yang mengganjal pikiran saya sejak kecil”, karena banjir yang melanda hampir seperempat luas kota Kediri itu justru menjadi tontonan rutin bagi sebagian masyarakat yang tidak terkena musibah, dan dianggapnya sebagai sesuatu yang “menghibur”. Manakala banjir hanya setinggi lutut di wilayah terendah yaitu di depan masjid besar dan alun-alun, maka hal itu dianggap kejadian biasa-biasa saja, dan seolah tidak ada yang perlu ditanggapi, karena rutinitasnya musim, memang harus banjir. Yang aneh justru harapan masyarakat yang tidak terkena banjir, agar sang banjir semakin membludak dan permukaan air semakin tinggi menggenangi atap-atap rumah di daerah Kauman. Manakala batas luberan air banjir ini sudah melewati gedung bioskop REX, maka segera kabar “gembira” itu menyebar ke seluruh pelosok kota, dan tak pelak lagi jalan Dhoho ke selatan (perempatan sumur bor) akan penuh sesak oleh warga yang ingin menonton dan menikmati luapan sungai Barntas itu dengan wisata perahu-nya di tengah kota.
Berita besar kecilnya luapan banjir yang akan terjadi di kota Kediri, juga bisa di deteksi dengan kondisi ditutup tidaknya lalu lintas darat yang melewati jembatan (kreteg) Ngujang (Jalan antara Kediri dan Tulung Agung), sehingga para “penggemar banjir (?)” dapat mengantisipasi perlu tidaknya menonton dan menikmati banjir di tengah kota. Inilah kasus kemanusiaan yang disebut dengan ketidakpedulian-sosial , atau dalam istilah psychology-nya Jerome K & Yulius Segal (1992) disebut sebagai bystander apathy.
Tulisan Abdul Mu’ti (Direktur Eksekutif CDCC Jakarta) pada harian SINDO 15 Februari 2008 yang berjudul Bencanataintment, menarik perhatian saya untuk membahas fenomena sosiologis seperti ini. Bencana ternyata tidak selalu monofocus pada satu layar kemanusiaan dari angle warga masyarakat yang menderita kerugian harta, benda bahkan mungkin nyawa sekalipun, akan tetapi sudah bias sampai pada layar komoditas hiburan dan komoditas politik serta komoditas-komoditas yang lain.
Kita masih ingat kasus bencana Tsunami di Aceh, dengan munculnya kasus bantuan yang mengendap di gudang-gudang dalam penguasaan Lembaga Swadaya Masyarakat tertentu, sementara masyarakat yang membutuhkan “ngap-ngapan” menunggu bantuan. Kita juga masih ingat, bahwa kejadian bencana, telah menjadi objek pergulatan persaingan pengaruh kekuasaan serta dukungan politik, yang bersifat seremonial, bahkan nyaris menjadi iklan partai politik melalui liputan televisi, karena dengan sengaja disiarkan berulang-ulang, demi kompensasi biaya, dan atas nama keseimbangan berita.
Selanjutnya Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa maraknya sikap asosial dari para penjual dan penonton musibah, bencana kemanusiaan ini merupakan fenomena tersendiri dari kerusakkan moral serta keroposnya bangunan sosial. Dicky S,Phd, dosen psikologi sosial Universitas Gadjah Mada, saat memberikan perkuliahan yang saya ikuti pada tahun 1992, sudah memprediksi makin berkembangnya masalah ketidak pedulian-sosial (psikologi sosial negatif) ini, seiring dan sejalan dengan meningkatnya penganut faham materialism-konsumerism, di tanah air. Bahkan satu dekade sebelumnya hal itu telah melanda Amerika Serikat dan sebagian daratan Eropa.

Waah, saya kok jadi serius ngomong mimbar akademik segala…..padahal kejadian yang saya alami saat ikutan menonton banjir, sambil membawa bekas bola lampu pijar yang diikat tali rami dan dihubungkan dengan sepotong bambu untuk mencari jejak agar tidak masuk ke lubang got, hanyalah peristiwa anak Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) yang bertanya-tanya pada dirinya, “mengapa musibah justru ditonton dan dianggap sebagai suatu objek hiburan?”.
Bystander apathy, merupakan realitas sosial yang sudah dianggap lazim terjadi dalam kehidupan masyarakat modern, karena pengaruh banyak hal dalam kaitan hubungan kemanusiaan, antara lain; kurangnya keakraban (intimacy), rendahnya kebersamaan (cohesiveness), dan kondisi kurang saling mengenal (anonymity). Padahal itu semua dapat dipenuhi melalui aktivitas lingkungan yang sarat dengan makna dan kepekaan sosial seperti; kerja bakti warga, arisan warga, silaturochim antar warga.
Namun karena solusi itu “murah meriah dan mudah” untuk dilaksanakan, masyarakat yang sudah terlanjur bersikap materialism dengan selera tinggi serta tinggi pula sifat konsumerisme-nya, menganggap langkah dan tindakan yang peka sosial itu justru suatu anomaly social (kelainan sosial). Lho, kok jadi begini? .
Jamannya memang jaman edan,…………

Cizantoeng tiga, medio tengah Februari 2008. Darsana Setiawan.

Senin, Februari 11, 2008

REPRESENTASI KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK KEMANUSIAAN


Tanpa mengurangi makna headline Koran Seputar Indonesia (Koran Sindo) edisi mingu, 10 Februari 2007 tentang Pencanangan Gerakan Membaca Koran yang dihiasi dengan foto Bapak Presiden SBY saat membaca Koran Sindo di mimbar kepresidenannya, perkenankan saya hadir untuk mengomentari tulisan di halaman lain dengan berbagai pertimbangan atau alasan. Pertama, sebagai pembaca Koran Sindo ternyata ada persamaan rubrik kegemaran diantara sesama pembaca setia (termasuk Pak SBY) yaitu berita sepakbola. Sedang alasan kedua, karena percaturan politik saat ini di tanah air, memang belum menggemingkan minat saya untuk mengomentarinya.
Semoga pembenaran saya sudah dirasa cukup untuk hadir dengan, mengembangkan pemikiran yang diilhami isi pada halaman 16 Sindo edisi tersebut, tentang resensi buku yang berjudul Seruan Azan dari Puing WTC dari Imam Feisal Abdul Rauf .
Paska tragedi pengeboman gedung World Trade Center (WTC) tanggal 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat (AS), mengeluarkan pernyataan kontroversial “war and terror yang dalam prakteknya mendeskreditkan umat Islam, seolah sebagai pelaku dan penyebar teror. Walaupun hal ini telah disanggah pihak AS, dengan serentetan siaran radio dan televisi produksi Voice Of Amerika (VOA) dengan menyiarkan kondisi umat Islam di AS yang hidup aman, damai serta non diskriminatif sampai saat ini.
Melalui resensi buku yang ditulis oleh Mohamad Asrori Mulky, diungkapkan pemikiran Imam Feisal selaku Imam besar masjid AL Farah, tentang kemunculan citra negatif terhadap Islam di AS, yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh sentimen negatif pihak nonmuslim yang salah dalam melihat substansi Islam. Sebagian kecil umat Islam yang berperilaku agresif terhadap umat beragama lain, dipandang memiliki kontribusi positif terhadap pencitraan Islam itu sendiri di AS. Meskipun citra negatif karena hal tersebut bukanlah bersifat monotype, mengingat banyak faktor lain yang juga menjadi penyebab seperti faktor politik yang dengan sengaja membangun dukungan dan kekuatan masa di dalam maupun di luar AS melalui “penciptaan musuh bersama” yaitu terorisme yang telah diidentikkan dengan Islam.
Memang sekecil apapun esensi kebijakan publik suatu negara, pasti akan menimbulkan pengaruh terhadap warna politik luar negeri dari negara bersangkutan, dan itulah yang terjadi pada pemerintah AS saat ini, seperti yang ditulis oleh Rahmadya Putra Nugraha dalam penelitian ilmiahnya yang berjudul “Upaya Diplomasi Publik VOA ke Indonesia terhadap citra AS” (Prof.DR.Moestopo University, 2008).
Yang menarik dari pemikiran Imam Feisal adalah, upayanya untuk menjembatani adanya pelurusan terhadap miskonsepsi nilai-nilai dari ajaran Islam, melalui dialog yang bersandar pada tiga pilar yaitu iman, peradaban dan kebudayaan. Setidaknya ada dua argumentasi utama yang membingkai preambule dukungan terhadap dialog tersebut yaitu; pertama, adanya akar yang sama sebagai elemen dasar tuntunan agama Yahudi, Kristen dan Islam sendiri yaitu etika Ibrahim. Ketiga agama tersebut memang mengakui keberadaan tuntunan Nabi Ibrahim, sebagai pendahulu yang sekaligus mengajarkan untuk senantiasa mencintai Tuhan, serta sesama umat manusia tanpa melihat perbedaan ras, agama ataupun latar belakang budayanya. Hal yang kedua, adanya kesamaan mendasar antara nilai-nilai Islami dengan nilai-nilai dasar Konstitusi AS yang menekankan prinsip kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan manakala Imam Feisal sebagai warga AS yang berkeyakinan Islam dan secara faktual adalah kaum minoritas, menyatakan hal itu sebagai suatu fakta kebenaran dan tidak semata-mata sebagai upaya pembenaran.
Di Indonesia tercinta, lebih menarik lagi dengan adanya hal yang sama seperti di atas, namun hal itu justru dilakukan oleh pimpinan umat nonmuslim, yang dengan gigih melakukan pengembangan dialog antar agama agar memperoleh eksistensi ke”warga negara”annya melalui perolehan perlindungan serta perlakuan secara adil sebagai sesama hamba Tuhan. Bukankah Muhammad Rasulullah sendiri mencontohkan kepada pengikutnya untuk menghormati hamba Tuhan nonmuslim saat bertamu, dengan menyediakan fasilitasi melakukan ritual keyakinan agama lain di rumah beliau. Bahkan Tuhan-pun telah berfirman untuk menghormati adanya perbedaan keyakinan beragama tersebut dengan “lakum dinukum waliyadhin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).

Hakekat dari pemikiran secara fundamental terhadap tulisan saya ini adalah, hubungan kemanusiaan yang bernilai serta berbobot humanism-kulturalism antara sesama hamba Tuhan adalah menjadi kewajiban kita semua untuk menghormatinya, namun tidak harus dengan melakukan ritual agama secara bersama, karena memang hakekatnya Tuhan telah menciptakan adanya perbedaan tersebut sebagai rahmat, dan bukan sebagai pemecah belah, apalagi pemusnah antar sesamanya. Dan selayaknya kebijakan publik yang dijalankan melalui komunikasi publik suatu negara, juga bertujuan pada nilai-nilai kemanusaan yang sama.
Secara lugas dan terbuka perlu disampaikan bahwa memang Tuhan tidak menciptakan “Agama Bersama” bagi hamba-hambaNya, karena dengan keberbedaan yang ada, kita justru dapat hidup “bebas dan merdeka dalam beragama, serta saling menghormatinya”, bukankah Tuhan yang Maha Tahu tentang kebaikan dibalik semua hal ini.

Mungkin, itulah hakekat sebenarnya dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

Jumat, Februari 08, 2008

AKAD BANGSA MERDEKA


Akad dalam bahasa aslinya (Arab) berarti ikatan, dan demikian pula makna dalam bahasa Indonesia. Semisal Akad nikah, artinya mengikatkan diri melalui suatu statement (janji) di hadapan Allah dan disaksikan oleh Penghulu serta Wali nikah, bahwa dirinya tunduk/terikat dengan seluruh ketentuan pernikahan yang mengaturnya.
Bangsa ini sudah bertekad bulat untuk melakukan Akad (mengikat diri) untuk menjadi bangsa Indonesia yang Merdeka, dengan pernyataan (Proklamasi) yang dibacakan atas nama bangsa Indonesia oleh Soekarno-Hatta, tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati hari ulang tahun pernyataan Akad (ikrar/ proklamasi) sebagai bangsa Merdeka, tentu dengan doa dan harapan hari esok lebih baik dari hari ini.
Itu pula sebabnya sebagai bagian dari bangsa merdeka, sekaligus sebagai hamba Tuhan, kita wajib mencerdasi keadaan dengan senantiasa berupaya untuk menjaga, memelihara dan mengisi secara positif perjalanan panjang pernyataan Akad kita.
Dalam situasi bangsa kita sedang prihatin seperti sekarang, janganlah berperilaku dan berpenampilan seperti "NGOBONG-OBONG DAMI MONGSO KETIGO" (membakar-bakar jerami dimusim panas!), karena hal itu dapat diartikan sebagai upaya untuk MEMBAKAR dan atau mengingkari pernyataan akad bangsa.
Jiwa atau Qolbu yang sehat dan kuat dari seseorang, akan senantiasa berupaya "memberi" (termasuk memberi solusi) untuk kebaikan sesama bangsanya, dan tidak selalu "meminta" atau menuntut dan menuntut serta menuntut tiada henti.
Bagaimanapun tangan di atas (yang memberi) itu tetap lebih baik dibanding tangan di bawah (yang meminta), itulah esensi tuntutan agama (Islam) yang mayoritas dipeluk bangsa kita.
Ternyata......John F Kennedy (mantan presiden AS), memang lebih dikenal dengan warisan wasiatnya yang berbunyi, "Janganlah engkau bertanya kepada negara tentang apa yang engkau peroleh, tapi bertanyalah terlebih dahulu kepada dirimu tentang apa yang telah engkau berikan kepada bangsa dan negaramu", dan ucapan itu memang sangat Islami. Lho kok?.

Sabtu, Februari 02, 2008

SEBELAS PINTU DOSA vs NILAI RAPOR.

Astaghfirullahalaziem..........ampuni aku hambaMU yang "jauh dari kesempurnaanMU" ya Allah.Sabtu subuh, saya memperoleh peringatan dari hamba Allah yang lain melalui wasilah, bersama jemaah lain yang intinya meminta maaf. Berbicara tentang “maaf” Saya lalu teringat dengan pojok kiri Koran SINDO dua hari yang lalu dengan pesan simpatik kira-kira seperti ini “pemberian maaf memang tidak akan mengubah apapun tentang masa lalu, akan tetapi setidaknya akan berpengaruh besar terhadap masa depan”.Diterangkan oleh penceramah di forum Subuh-an tersebut, bahwa tiada seorang manusiapun yang luput dari dosa, kekhilafan dan kealpaan, kecuali hamba Allah yang maksum, karena kehendak Allah untuk menjaga dari "dosa", seperti halnya Rosulullah. Oleh karenanya hanya dengan beristighfar dan menjalankan kehidupan yang "bermanfaat bagi diri sendiri serta hamba Tuhan yang lain" (menjalankan Shahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan ber Haji bagi seorang muslim/muslimah) maka kita boleh berharap "sedikit", Allah akan mengampuni kita. Sedangkan yang "banyak" adalah otoritas Allah dengan segala keMahaKuasaNya serta keMaha PengasihSayangNya.
Semula saya agak terkejut saat sang ustadz menyampaikan peringatan mengapa wirid istighfarnya diajarkan minimal 11 kali?, alasannya karena minimal kita melakukan "dosa" melalui 11 pintu masuk, yaitu; 2 mata, 2 lubang hidung, 1 mulut, 2 telinga, 2 tangan dan 2 kaki. Secara harfiah memang itulah lubang-lubang masuknya impuls pandangan, pendengaran serta keluarnya ucapan dan cengkeraman jemari serta langkah kaki yang dapat berkontribusi menentukan dosa tidaknya kita.Orang Betawi bilang "ngeliat" (tidak sengaja) pada sesuatu objek pandangan yang diharamkan tidaklah dosa, namun kalau "ngliatin" (dengan sengaja) pada suatu objek yang di haramkan tentulah itu suatu perbuatan dosa. Demikian pula "mendengar" belum tentu dosa, namun kalau sengaja mendengarkan sesuatu "ghibah/ kejelekan dan menjelek-jelekan orang lain" seperti ngrumpi, hal itu tidak ubahnya seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Ini adalah tuntutan agama, yang hampir semua ichwan saya sesama muslim/muslimah harusnya tahu.Saya semakin tertunduk lesu, mengingat 11 pintu perbuatan dosa secara harfiah yang melekat dan dititipkan oleh pemilikNya ada di tubuh saya. Walaupun saya juga sadar betul bahwa 11 pintu penyebab dosa itu hanyalah alat atau indera yang secara motorik tunduk serta patuh kepada perintah yang berasal dari kumpulan syaraf pusat yang namanya cerebrum dan cerebellum (otak besar dan otak kecil). Jadi sebenarnya kesebelas pintu dosa di atas bisa menolak seluruh keterlibatan "kong kalikong" perbuatan dosa, mengingat organ indera tersebut hanyalah menjalankan perintah. Namun saat otak diperiksa “jaksa penuntut” di akherat, untuk mempertanggung jawabkan segala dosa yang diperbuat, maka otakpun dapat ingkar, dengan alasan sekedar menyimpan impuls "kemauan" untuk kemudian direflesikan ke panca indera menjadi produk perbuatan.Lalu pertanyaan berikutnya, siapa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan dosa itu?.Saat otak dan ke 11 pintu dosa duduk untuk menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), maka muncullah kesaksian baru bahwa sang dalang yang menggagas dan mendesain rencana besar perbuatan dosa tersebut adalah Qalbu.Malam Jum'at yang lalu saya sudah minta informasi kepada pak ustadz yang lain, untuk mengklarifikasi nama lain dari Qalbu itu, dan jawabannya adalah hati. Tapi hati yang dimaksud ini bukanlah hati dalam pengertian anatomis organ Hepar, apalagi saat kita merasakan sakit hati karena suatu peristiwa, lalu kita pegang dan atau elus-elus bagian depan dada, sambil berbicara "sakit deh hatiku!". Padahal yang kita pegang adalah jantung kita yang sedang berdebar-debar saat memperoleh rangsang dari luar yang menimbulkan kenaikan rithmis pacuan denyut jantung.Itu sebabnya "akal" yang dimaksud sebagai syarat seseorang hamba Allah menjalankan agama bukanlah sekedar otak sebagai pusat pikiran, akan tetapi juga Qalbu sebagai pelaku utama yang merencana (membuat dan mengambil keputusan) untuk memproduk suatu perbuatan, bahkan akan menjadi suatu kebiasaan.Nah dosa tidaknya perbuatan yang diproduk tersebut, harus dibandingkan dengan standar perbuatan (benchmark standardize) yang ada di dalam pedoman (Al Qur'an), tuntunan agama (Hadist Nabi) dan atau standar perilaku sosial kemasyarakatan (Sopan santun, adat istiadat) yang dijalani bersama.
Sayang,..........mulai semester ganjil tahun pelajaran 2007/2008 ini, nilai hasil belajar peserta didik (NILAI RAPOR) di sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD dan SMP) hampir di seantero tanah air, tidak lagi mencantumkan nilai hasil kinerja "qolbu" yang sering kita sebut sebagai afeksi (seperti kejujuran, kelakuan, kerajinan, kesetiakawanan, empaty, simpaty dll), karena sudah dijadikan satu (melalui cara menjumlah dan merata-rata) dengan nilai kinerja otak yang sering kita sebut sebagai kognisi dan keterampilan kinestikal 11 pintu dosa. Pembenarannya nilai ketiga aspek (kognitif, psikomorik dan afeksi) cukup ada di dokumen Gurunya saja, sedangkan di dalam Laporan Hasil Belajar (Rapor) peserta didik cukup satu nilai hasil perhitungan reratanya).Astaga!, bagaimana ceritanya afeksi dirata-rata dengan kognisi dan psikomorik?.Barangkali inilah yang disebut dengan korban peribahasa yang sering diajarkan guru Bahasa Indonesia kita dulu, bahwa "rajin itu pangkal pandai", walaupun kenyataannya berbeda, karena Allah sudah menciptakan kepandaian seseorang hambaNya, jauh sebelum peserta didik bersangkutan bersekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak anak pandai bukan karena rajinnya saja, seperti halnya banyak pula anak yang rajin tapi tidak pernah pandai, karena memang hanya Allah yang Maha Tahu dibalik kondisi ciptaanNya (yang slow learner) itu.
Subhanallah, Allah Maha Tahu.

Jumat, Februari 01, 2008

SAMPUL DEPAN RINOWENGI


Bagian dari aktivitas keseharian dari pagi sampai malam hari dan pagi kembali, itulah esensi RINOWENGI.

Yang penting bukanlah berlalunya RINOWENGI sebagai suatu aliran sunatullah yang memang tidak bisa kita hentikan, akan tetapi apa yang kita lakukan di dalam mengisi kehidupan sebagai anugrah Tuhan di dalam pusaran RINOWENGI tersebut.

Blog ini mudah-mudahan mampu mewadahi sebagian dari rekaman peristiwa kehidupan sebagai pengalaman belajar, yang akan dibawa menuju akhir kehidupan yang baik sesuai keinginan kita (Khusnul Chotimah).