Rabu, Februari 20, 2008

PELAJAR MENOLAK DISIPLIN?

Pagi-pagi, tayangan layar kaca televisi mengejutkan saya dengan pemberitaan ngamuknya para pelajar SMA Swasta "P" di Jogyakarta, yang memporak-porandakan fasilitas sekolah dan menuntut turunnya Kepala Sekolah mereka, karena dianggap "TERLALU DISIPLIN"?.

Padahal beberapa hari sebelumnya, di dalam perkuliahan saya kepada para Guru TK, SD, SMP dan SLTA yang sedang mengikuti program S1, muncul pertanyaan menarik dari salah satu mahasiswi (Guru SLTP) seperti ini ; "pak bagaimana caranya mengatasi kebandelan seorang siswa yang selalu membuat ulah, bahkan rambutnya sudah di cat merah".
Kemudian saya balik bertanya kepada penanya (untuk menyelidik) "apakah di sekolah Anda ada butir Tata Tertib Sekolah yang melarang siswa untuk mengecat rambut, selain hitam?". Nampaknya pertanyaan balik saya justru mengherankan penanya, bahkan seluruh mahasiswa di kelas perkuliahan tersebut. Agar tidak semakin membingungkan maka saya langsung menjelaskan, bahwa Tata Tertib Sekolah itu adalah "komitmen bersama seluruh anggota Masyarakat Sekolah" , sehingga saat penyusunannya harus melewati proses demokratis (bisa sistem perwakilan) yang mencerminkan semua unsur di dalam Masyarakat Sekolah itu. Sebaiknya penyusunan dan atau pembahasan Tata Tertib Sekolah dilaksanakan pada Rapat Kerja Sekolah pada saat pennyiapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), karena Tata Tertib Sekolah adalah bagian dari KTSP itu sendiri. Hampir seluruh cetak biru yang bernama KTSP ini, akan menjadi tuntunan operasional penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah, seperti arti dari "kurikulum" itu sendiri. Komite Sekolah secara aktif menjadi bagian yang seharusnya mendorong terciptanya proses perubahan Paradigma Baru (New Paradigm) bahwa Sekolah harus menjadi tempat yang mampu mempelopori proses demokratisasi dan penegakkan HAM. Diawal reformasi dulu ada forum "Reformasi Pendidikan" yang secara aktif mencari formulasi untuk me "re-formasi"-kan masalah-masalah pendidikan di tanah air. Dan proses selanjutnya dari forum-forum seperti itu, sudah dapat kita tebak kelanjutan aktivitasnya yaitu "mati suri" alias bernyawa tapi tanpa makna, dan hal itu terjadi mudah-mudahan bukan karena saking sibuknya ketua forum.
Jadi idealnya, bukan hanya Tata Tertib Sekolah yang harus dijalankan "bersama" akan tetapi seluruh komponen di dalam KTSP yang telah disyahkan didepan Rapat Kerja Sekolah serta disetujui oleh pihak Dinas Pendidikan setempat juga harus diamankan agar tetap bisa berjalan (sesuai dengan proporsi dan tanggung jawab masing-masing unsur, termasuk peserta didik dan Guru serta Kepala Sekolah, Orang Tua Siswa, bahkan Penjaga Sekolah dan Bapak-Ibu Penjual makanan di Kantin Sekolah sekalipun). Memang ada prasyarat yang harus dipenuhi di dalam pemberlakuan ketetapan bersama seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan juga berlaku bagi ketetapan KTSP tersebut yaitu, kewajiban pihak tertentu (sekolah) untuk mengundangkannya atau mensosialisasikannya kepada setiap elemen dari unsur pembentuk masyarakat sekolah.
Bahkan di suatu sekolah di bilangan jalan Kramat Raya Jakarta yang saya temui (sekolah yang berkualitas bagus dan sangat dikenal oleh masyarakat) mencantumkan butir Tata Tertib Sekolah yang berbunyi "Peserta didik yang kedapatan menyontek saat ujian/ulangan berlangsung, bersedia dikelaurkan dari sekolah", dan setiap Orang Tua maupun Peserta didik bersangkutan menandatangani tanda persetujuannya.
Jangan lupa Pelaksanaan KTSP termasuk di dalamnya melaksanakan dan mengamankan "mutu hasil belajar" yang sudah ditetapkan di dalam Kriteria Kompetensi Minimal (KKM) tiap Mata Pelajaran. Seringkali pihak "sekolah" secara sepihak menganulir KKM dengan cara menurunkan Batas Minimal Kompetensi untuk "mengkatrol" nilai peserta didik yang tidak kompeten, pada Rapat Pleno Penetapan Kenaikan Kelas atau Kelulusan yang dipimpin oleh Kepala Sekolahnya. Sehingga saat peserta didik mengantarkan Orang tuanya untuk megambil rapor kepada WaliKelas-nya, yang semula merasakan "stress berat" karena takut gagal (tidak naik kelas atau tidak lulus), namun setelah melihat rapornya, peserta didik bersangkutan justru terheran-heran sambil bergumam "Lho kok naik kelas ya, padahal menurut perhitungan hasil ulangan harian, nilai tugas, dan nilai ulangan umum (blok), seharusnya aku nggak naik kelas". Maka sang peserta didik yang baru membaca dokumen rapor dengan predikat naik kelas atau lulus, berkata lagi " Yaah ...Maradona saja boleh berkata "tangan tuhan" yang digunakan untuk menceploskan bola ke gawang lawan saat tim Argentina menjuarai Piala Dunia, kenapa saya tidak, toh sama-sama keputusan yang salah dari wasit yang memimpin pertandingan saat itu ataupun keputusan rapat pleno penetapan kenaikan kelas saya, toh sama-sama tidak dapat di ralat lagi, pokoknya gue naik kelas, titik!".
Mungkin kita semua tidak menyadari bahwa kejadian seperti ini, merupakan awal muasal dari peristiwa yang sangat mengerikan kita semua sebagai bangsa, yaitu runtuhnya pendidikan moral kejujuran sekaligus "Pendidikan Korupsi".

Kejadian ngamuknya para pelajar SMA Swasta "P" di Jogyakarta, memang tidak terlepas dari berbagai pengaruh, termasuk peneladanan perilaku dan figur yang membanggakan (remaja). Pada kesempatan ini saya tidak ingin mengembangkan masalah perkembangan psikologi remaja sebagai salah satu penyebab tidak patuhnya peserta didik pada ketetapan hukum (Tata Tertib Sekolah) . Namun perlu pula kita renungkan bersama, bahwa selain lemahnya proses sosialisasi Tata Tertib Sekolah, masalah kejujuran adalah nafas dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan tanpa peneladanan kejujuran adalah kebohongan, dan kebohongan adalah kejahatan!, baru titik!.
Diperlukan analisis yang mendalam terhadap berbagai kasus serupa, seperti kejadian diberbagai daerah dengan ngamuknya para mahasiswa yang meluluh-lantakkan kampusnya sendiri, sebagai refleksi dari ketidakpuasan.

Minggu, Februari 17, 2008

MASA DEPAN MEMANG SELALU DIGENGGAMAN KITA


Masa depan sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing dari diri kita.
Masa depan hanyalah proses kelanjutan yang terjalin secara berkelanjutan.
Jika pada hari ini, kita telah "menciptakan solusi" untuk seluruh permasalahan yang kita hadapi, maka masa depan kita (di hari esok) akan selamat dan sukses.
Ciptakanlah solusi dari setiap permasalahan yang kita hadapi, karena permasalahan memang selalu ada di hadapan kita. Masa depan memang selalu ada digenggaman kita sendiri, karena Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang, manakala dirinya tidak merubah nasibnya sendiri.
Mengapa tidak kita mulai saja dari sekarang, pada permasalahan-permasalahan yang kecil terlebih dahulu, yang persis ada di hadapan kita.
Semoga dengan peningkatan frekuensi pelatihan untuk menciptakan solusi, kita dapat memposisikan diri di tempat yang dibutuhkan orang lain, untuk memberikan solusi terbaik!.
Salam,

Cijantung, 17 Februari 2008, saya Darsana Setiawan.

Sabtu, Februari 16, 2008

BANJIR, FENOMENA YANG MENGHIBUR DAN MENYENGSARAKAN




Bagi kita, seolah datangnya musim hujan dan terjadinya banjir bukan lagi merupakan suatu hal yang dikotomis, akan tetapi kejadian keduanya justru merupakan hal yang komplementer (saling mengisi). Namun kali ini saya tidak ingin mengangkat tulisan tentang pembangunan yang tidak “utuh” (holistic) serta tidak pula mampu melihat dan memprediksi jauh ke depan (outword-looking), sehingga terkesan sebagai program pembangunan tambal sulam, parsial, asal-asalan bahkan short term oriented pada pagu anggaran se-tahunan.

Saya hanya ingin mengenang masa kecil di tahun enampuluhan dengan banjir-nya kota kelahiran saya Kediri, yang terjadi pada setiap musim hujan. Apanya yang aneh dengan musibah banjir tahunan itu sehingga saya perlu menuliskan kembali “sesuatu yang mengganjal pikiran saya sejak kecil”, karena banjir yang melanda hampir seperempat luas kota Kediri itu justru menjadi tontonan rutin bagi sebagian masyarakat yang tidak terkena musibah, dan dianggapnya sebagai sesuatu yang “menghibur”. Manakala banjir hanya setinggi lutut di wilayah terendah yaitu di depan masjid besar dan alun-alun, maka hal itu dianggap kejadian biasa-biasa saja, dan seolah tidak ada yang perlu ditanggapi, karena rutinitasnya musim, memang harus banjir. Yang aneh justru harapan masyarakat yang tidak terkena banjir, agar sang banjir semakin membludak dan permukaan air semakin tinggi menggenangi atap-atap rumah di daerah Kauman. Manakala batas luberan air banjir ini sudah melewati gedung bioskop REX, maka segera kabar “gembira” itu menyebar ke seluruh pelosok kota, dan tak pelak lagi jalan Dhoho ke selatan (perempatan sumur bor) akan penuh sesak oleh warga yang ingin menonton dan menikmati luapan sungai Barntas itu dengan wisata perahu-nya di tengah kota.
Berita besar kecilnya luapan banjir yang akan terjadi di kota Kediri, juga bisa di deteksi dengan kondisi ditutup tidaknya lalu lintas darat yang melewati jembatan (kreteg) Ngujang (Jalan antara Kediri dan Tulung Agung), sehingga para “penggemar banjir (?)” dapat mengantisipasi perlu tidaknya menonton dan menikmati banjir di tengah kota. Inilah kasus kemanusiaan yang disebut dengan ketidakpedulian-sosial , atau dalam istilah psychology-nya Jerome K & Yulius Segal (1992) disebut sebagai bystander apathy.
Tulisan Abdul Mu’ti (Direktur Eksekutif CDCC Jakarta) pada harian SINDO 15 Februari 2008 yang berjudul Bencanataintment, menarik perhatian saya untuk membahas fenomena sosiologis seperti ini. Bencana ternyata tidak selalu monofocus pada satu layar kemanusiaan dari angle warga masyarakat yang menderita kerugian harta, benda bahkan mungkin nyawa sekalipun, akan tetapi sudah bias sampai pada layar komoditas hiburan dan komoditas politik serta komoditas-komoditas yang lain.
Kita masih ingat kasus bencana Tsunami di Aceh, dengan munculnya kasus bantuan yang mengendap di gudang-gudang dalam penguasaan Lembaga Swadaya Masyarakat tertentu, sementara masyarakat yang membutuhkan “ngap-ngapan” menunggu bantuan. Kita juga masih ingat, bahwa kejadian bencana, telah menjadi objek pergulatan persaingan pengaruh kekuasaan serta dukungan politik, yang bersifat seremonial, bahkan nyaris menjadi iklan partai politik melalui liputan televisi, karena dengan sengaja disiarkan berulang-ulang, demi kompensasi biaya, dan atas nama keseimbangan berita.
Selanjutnya Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa maraknya sikap asosial dari para penjual dan penonton musibah, bencana kemanusiaan ini merupakan fenomena tersendiri dari kerusakkan moral serta keroposnya bangunan sosial. Dicky S,Phd, dosen psikologi sosial Universitas Gadjah Mada, saat memberikan perkuliahan yang saya ikuti pada tahun 1992, sudah memprediksi makin berkembangnya masalah ketidak pedulian-sosial (psikologi sosial negatif) ini, seiring dan sejalan dengan meningkatnya penganut faham materialism-konsumerism, di tanah air. Bahkan satu dekade sebelumnya hal itu telah melanda Amerika Serikat dan sebagian daratan Eropa.

Waah, saya kok jadi serius ngomong mimbar akademik segala…..padahal kejadian yang saya alami saat ikutan menonton banjir, sambil membawa bekas bola lampu pijar yang diikat tali rami dan dihubungkan dengan sepotong bambu untuk mencari jejak agar tidak masuk ke lubang got, hanyalah peristiwa anak Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) yang bertanya-tanya pada dirinya, “mengapa musibah justru ditonton dan dianggap sebagai suatu objek hiburan?”.
Bystander apathy, merupakan realitas sosial yang sudah dianggap lazim terjadi dalam kehidupan masyarakat modern, karena pengaruh banyak hal dalam kaitan hubungan kemanusiaan, antara lain; kurangnya keakraban (intimacy), rendahnya kebersamaan (cohesiveness), dan kondisi kurang saling mengenal (anonymity). Padahal itu semua dapat dipenuhi melalui aktivitas lingkungan yang sarat dengan makna dan kepekaan sosial seperti; kerja bakti warga, arisan warga, silaturochim antar warga.
Namun karena solusi itu “murah meriah dan mudah” untuk dilaksanakan, masyarakat yang sudah terlanjur bersikap materialism dengan selera tinggi serta tinggi pula sifat konsumerisme-nya, menganggap langkah dan tindakan yang peka sosial itu justru suatu anomaly social (kelainan sosial). Lho, kok jadi begini? .
Jamannya memang jaman edan,…………

Cizantoeng tiga, medio tengah Februari 2008. Darsana Setiawan.

Senin, Februari 11, 2008

REPRESENTASI KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK KEMANUSIAAN


Tanpa mengurangi makna headline Koran Seputar Indonesia (Koran Sindo) edisi mingu, 10 Februari 2007 tentang Pencanangan Gerakan Membaca Koran yang dihiasi dengan foto Bapak Presiden SBY saat membaca Koran Sindo di mimbar kepresidenannya, perkenankan saya hadir untuk mengomentari tulisan di halaman lain dengan berbagai pertimbangan atau alasan. Pertama, sebagai pembaca Koran Sindo ternyata ada persamaan rubrik kegemaran diantara sesama pembaca setia (termasuk Pak SBY) yaitu berita sepakbola. Sedang alasan kedua, karena percaturan politik saat ini di tanah air, memang belum menggemingkan minat saya untuk mengomentarinya.
Semoga pembenaran saya sudah dirasa cukup untuk hadir dengan, mengembangkan pemikiran yang diilhami isi pada halaman 16 Sindo edisi tersebut, tentang resensi buku yang berjudul Seruan Azan dari Puing WTC dari Imam Feisal Abdul Rauf .
Paska tragedi pengeboman gedung World Trade Center (WTC) tanggal 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat (AS), mengeluarkan pernyataan kontroversial “war and terror yang dalam prakteknya mendeskreditkan umat Islam, seolah sebagai pelaku dan penyebar teror. Walaupun hal ini telah disanggah pihak AS, dengan serentetan siaran radio dan televisi produksi Voice Of Amerika (VOA) dengan menyiarkan kondisi umat Islam di AS yang hidup aman, damai serta non diskriminatif sampai saat ini.
Melalui resensi buku yang ditulis oleh Mohamad Asrori Mulky, diungkapkan pemikiran Imam Feisal selaku Imam besar masjid AL Farah, tentang kemunculan citra negatif terhadap Islam di AS, yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh sentimen negatif pihak nonmuslim yang salah dalam melihat substansi Islam. Sebagian kecil umat Islam yang berperilaku agresif terhadap umat beragama lain, dipandang memiliki kontribusi positif terhadap pencitraan Islam itu sendiri di AS. Meskipun citra negatif karena hal tersebut bukanlah bersifat monotype, mengingat banyak faktor lain yang juga menjadi penyebab seperti faktor politik yang dengan sengaja membangun dukungan dan kekuatan masa di dalam maupun di luar AS melalui “penciptaan musuh bersama” yaitu terorisme yang telah diidentikkan dengan Islam.
Memang sekecil apapun esensi kebijakan publik suatu negara, pasti akan menimbulkan pengaruh terhadap warna politik luar negeri dari negara bersangkutan, dan itulah yang terjadi pada pemerintah AS saat ini, seperti yang ditulis oleh Rahmadya Putra Nugraha dalam penelitian ilmiahnya yang berjudul “Upaya Diplomasi Publik VOA ke Indonesia terhadap citra AS” (Prof.DR.Moestopo University, 2008).
Yang menarik dari pemikiran Imam Feisal adalah, upayanya untuk menjembatani adanya pelurusan terhadap miskonsepsi nilai-nilai dari ajaran Islam, melalui dialog yang bersandar pada tiga pilar yaitu iman, peradaban dan kebudayaan. Setidaknya ada dua argumentasi utama yang membingkai preambule dukungan terhadap dialog tersebut yaitu; pertama, adanya akar yang sama sebagai elemen dasar tuntunan agama Yahudi, Kristen dan Islam sendiri yaitu etika Ibrahim. Ketiga agama tersebut memang mengakui keberadaan tuntunan Nabi Ibrahim, sebagai pendahulu yang sekaligus mengajarkan untuk senantiasa mencintai Tuhan, serta sesama umat manusia tanpa melihat perbedaan ras, agama ataupun latar belakang budayanya. Hal yang kedua, adanya kesamaan mendasar antara nilai-nilai Islami dengan nilai-nilai dasar Konstitusi AS yang menekankan prinsip kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan manakala Imam Feisal sebagai warga AS yang berkeyakinan Islam dan secara faktual adalah kaum minoritas, menyatakan hal itu sebagai suatu fakta kebenaran dan tidak semata-mata sebagai upaya pembenaran.
Di Indonesia tercinta, lebih menarik lagi dengan adanya hal yang sama seperti di atas, namun hal itu justru dilakukan oleh pimpinan umat nonmuslim, yang dengan gigih melakukan pengembangan dialog antar agama agar memperoleh eksistensi ke”warga negara”annya melalui perolehan perlindungan serta perlakuan secara adil sebagai sesama hamba Tuhan. Bukankah Muhammad Rasulullah sendiri mencontohkan kepada pengikutnya untuk menghormati hamba Tuhan nonmuslim saat bertamu, dengan menyediakan fasilitasi melakukan ritual keyakinan agama lain di rumah beliau. Bahkan Tuhan-pun telah berfirman untuk menghormati adanya perbedaan keyakinan beragama tersebut dengan “lakum dinukum waliyadhin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).

Hakekat dari pemikiran secara fundamental terhadap tulisan saya ini adalah, hubungan kemanusiaan yang bernilai serta berbobot humanism-kulturalism antara sesama hamba Tuhan adalah menjadi kewajiban kita semua untuk menghormatinya, namun tidak harus dengan melakukan ritual agama secara bersama, karena memang hakekatnya Tuhan telah menciptakan adanya perbedaan tersebut sebagai rahmat, dan bukan sebagai pemecah belah, apalagi pemusnah antar sesamanya. Dan selayaknya kebijakan publik yang dijalankan melalui komunikasi publik suatu negara, juga bertujuan pada nilai-nilai kemanusaan yang sama.
Secara lugas dan terbuka perlu disampaikan bahwa memang Tuhan tidak menciptakan “Agama Bersama” bagi hamba-hambaNya, karena dengan keberbedaan yang ada, kita justru dapat hidup “bebas dan merdeka dalam beragama, serta saling menghormatinya”, bukankah Tuhan yang Maha Tahu tentang kebaikan dibalik semua hal ini.

Mungkin, itulah hakekat sebenarnya dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

Jumat, Februari 08, 2008

AKAD BANGSA MERDEKA


Akad dalam bahasa aslinya (Arab) berarti ikatan, dan demikian pula makna dalam bahasa Indonesia. Semisal Akad nikah, artinya mengikatkan diri melalui suatu statement (janji) di hadapan Allah dan disaksikan oleh Penghulu serta Wali nikah, bahwa dirinya tunduk/terikat dengan seluruh ketentuan pernikahan yang mengaturnya.
Bangsa ini sudah bertekad bulat untuk melakukan Akad (mengikat diri) untuk menjadi bangsa Indonesia yang Merdeka, dengan pernyataan (Proklamasi) yang dibacakan atas nama bangsa Indonesia oleh Soekarno-Hatta, tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati hari ulang tahun pernyataan Akad (ikrar/ proklamasi) sebagai bangsa Merdeka, tentu dengan doa dan harapan hari esok lebih baik dari hari ini.
Itu pula sebabnya sebagai bagian dari bangsa merdeka, sekaligus sebagai hamba Tuhan, kita wajib mencerdasi keadaan dengan senantiasa berupaya untuk menjaga, memelihara dan mengisi secara positif perjalanan panjang pernyataan Akad kita.
Dalam situasi bangsa kita sedang prihatin seperti sekarang, janganlah berperilaku dan berpenampilan seperti "NGOBONG-OBONG DAMI MONGSO KETIGO" (membakar-bakar jerami dimusim panas!), karena hal itu dapat diartikan sebagai upaya untuk MEMBAKAR dan atau mengingkari pernyataan akad bangsa.
Jiwa atau Qolbu yang sehat dan kuat dari seseorang, akan senantiasa berupaya "memberi" (termasuk memberi solusi) untuk kebaikan sesama bangsanya, dan tidak selalu "meminta" atau menuntut dan menuntut serta menuntut tiada henti.
Bagaimanapun tangan di atas (yang memberi) itu tetap lebih baik dibanding tangan di bawah (yang meminta), itulah esensi tuntutan agama (Islam) yang mayoritas dipeluk bangsa kita.
Ternyata......John F Kennedy (mantan presiden AS), memang lebih dikenal dengan warisan wasiatnya yang berbunyi, "Janganlah engkau bertanya kepada negara tentang apa yang engkau peroleh, tapi bertanyalah terlebih dahulu kepada dirimu tentang apa yang telah engkau berikan kepada bangsa dan negaramu", dan ucapan itu memang sangat Islami. Lho kok?.

Sabtu, Februari 02, 2008

SEBELAS PINTU DOSA vs NILAI RAPOR.

Astaghfirullahalaziem..........ampuni aku hambaMU yang "jauh dari kesempurnaanMU" ya Allah.Sabtu subuh, saya memperoleh peringatan dari hamba Allah yang lain melalui wasilah, bersama jemaah lain yang intinya meminta maaf. Berbicara tentang “maaf” Saya lalu teringat dengan pojok kiri Koran SINDO dua hari yang lalu dengan pesan simpatik kira-kira seperti ini “pemberian maaf memang tidak akan mengubah apapun tentang masa lalu, akan tetapi setidaknya akan berpengaruh besar terhadap masa depan”.Diterangkan oleh penceramah di forum Subuh-an tersebut, bahwa tiada seorang manusiapun yang luput dari dosa, kekhilafan dan kealpaan, kecuali hamba Allah yang maksum, karena kehendak Allah untuk menjaga dari "dosa", seperti halnya Rosulullah. Oleh karenanya hanya dengan beristighfar dan menjalankan kehidupan yang "bermanfaat bagi diri sendiri serta hamba Tuhan yang lain" (menjalankan Shahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan ber Haji bagi seorang muslim/muslimah) maka kita boleh berharap "sedikit", Allah akan mengampuni kita. Sedangkan yang "banyak" adalah otoritas Allah dengan segala keMahaKuasaNya serta keMaha PengasihSayangNya.
Semula saya agak terkejut saat sang ustadz menyampaikan peringatan mengapa wirid istighfarnya diajarkan minimal 11 kali?, alasannya karena minimal kita melakukan "dosa" melalui 11 pintu masuk, yaitu; 2 mata, 2 lubang hidung, 1 mulut, 2 telinga, 2 tangan dan 2 kaki. Secara harfiah memang itulah lubang-lubang masuknya impuls pandangan, pendengaran serta keluarnya ucapan dan cengkeraman jemari serta langkah kaki yang dapat berkontribusi menentukan dosa tidaknya kita.Orang Betawi bilang "ngeliat" (tidak sengaja) pada sesuatu objek pandangan yang diharamkan tidaklah dosa, namun kalau "ngliatin" (dengan sengaja) pada suatu objek yang di haramkan tentulah itu suatu perbuatan dosa. Demikian pula "mendengar" belum tentu dosa, namun kalau sengaja mendengarkan sesuatu "ghibah/ kejelekan dan menjelek-jelekan orang lain" seperti ngrumpi, hal itu tidak ubahnya seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Ini adalah tuntutan agama, yang hampir semua ichwan saya sesama muslim/muslimah harusnya tahu.Saya semakin tertunduk lesu, mengingat 11 pintu perbuatan dosa secara harfiah yang melekat dan dititipkan oleh pemilikNya ada di tubuh saya. Walaupun saya juga sadar betul bahwa 11 pintu penyebab dosa itu hanyalah alat atau indera yang secara motorik tunduk serta patuh kepada perintah yang berasal dari kumpulan syaraf pusat yang namanya cerebrum dan cerebellum (otak besar dan otak kecil). Jadi sebenarnya kesebelas pintu dosa di atas bisa menolak seluruh keterlibatan "kong kalikong" perbuatan dosa, mengingat organ indera tersebut hanyalah menjalankan perintah. Namun saat otak diperiksa “jaksa penuntut” di akherat, untuk mempertanggung jawabkan segala dosa yang diperbuat, maka otakpun dapat ingkar, dengan alasan sekedar menyimpan impuls "kemauan" untuk kemudian direflesikan ke panca indera menjadi produk perbuatan.Lalu pertanyaan berikutnya, siapa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan dosa itu?.Saat otak dan ke 11 pintu dosa duduk untuk menjalani Berita Acara Pemeriksaan (BAP), maka muncullah kesaksian baru bahwa sang dalang yang menggagas dan mendesain rencana besar perbuatan dosa tersebut adalah Qalbu.Malam Jum'at yang lalu saya sudah minta informasi kepada pak ustadz yang lain, untuk mengklarifikasi nama lain dari Qalbu itu, dan jawabannya adalah hati. Tapi hati yang dimaksud ini bukanlah hati dalam pengertian anatomis organ Hepar, apalagi saat kita merasakan sakit hati karena suatu peristiwa, lalu kita pegang dan atau elus-elus bagian depan dada, sambil berbicara "sakit deh hatiku!". Padahal yang kita pegang adalah jantung kita yang sedang berdebar-debar saat memperoleh rangsang dari luar yang menimbulkan kenaikan rithmis pacuan denyut jantung.Itu sebabnya "akal" yang dimaksud sebagai syarat seseorang hamba Allah menjalankan agama bukanlah sekedar otak sebagai pusat pikiran, akan tetapi juga Qalbu sebagai pelaku utama yang merencana (membuat dan mengambil keputusan) untuk memproduk suatu perbuatan, bahkan akan menjadi suatu kebiasaan.Nah dosa tidaknya perbuatan yang diproduk tersebut, harus dibandingkan dengan standar perbuatan (benchmark standardize) yang ada di dalam pedoman (Al Qur'an), tuntunan agama (Hadist Nabi) dan atau standar perilaku sosial kemasyarakatan (Sopan santun, adat istiadat) yang dijalani bersama.
Sayang,..........mulai semester ganjil tahun pelajaran 2007/2008 ini, nilai hasil belajar peserta didik (NILAI RAPOR) di sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD dan SMP) hampir di seantero tanah air, tidak lagi mencantumkan nilai hasil kinerja "qolbu" yang sering kita sebut sebagai afeksi (seperti kejujuran, kelakuan, kerajinan, kesetiakawanan, empaty, simpaty dll), karena sudah dijadikan satu (melalui cara menjumlah dan merata-rata) dengan nilai kinerja otak yang sering kita sebut sebagai kognisi dan keterampilan kinestikal 11 pintu dosa. Pembenarannya nilai ketiga aspek (kognitif, psikomorik dan afeksi) cukup ada di dokumen Gurunya saja, sedangkan di dalam Laporan Hasil Belajar (Rapor) peserta didik cukup satu nilai hasil perhitungan reratanya).Astaga!, bagaimana ceritanya afeksi dirata-rata dengan kognisi dan psikomorik?.Barangkali inilah yang disebut dengan korban peribahasa yang sering diajarkan guru Bahasa Indonesia kita dulu, bahwa "rajin itu pangkal pandai", walaupun kenyataannya berbeda, karena Allah sudah menciptakan kepandaian seseorang hambaNya, jauh sebelum peserta didik bersangkutan bersekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak anak pandai bukan karena rajinnya saja, seperti halnya banyak pula anak yang rajin tapi tidak pernah pandai, karena memang hanya Allah yang Maha Tahu dibalik kondisi ciptaanNya (yang slow learner) itu.
Subhanallah, Allah Maha Tahu.

Jumat, Februari 01, 2008

SAMPUL DEPAN RINOWENGI


Bagian dari aktivitas keseharian dari pagi sampai malam hari dan pagi kembali, itulah esensi RINOWENGI.

Yang penting bukanlah berlalunya RINOWENGI sebagai suatu aliran sunatullah yang memang tidak bisa kita hentikan, akan tetapi apa yang kita lakukan di dalam mengisi kehidupan sebagai anugrah Tuhan di dalam pusaran RINOWENGI tersebut.

Blog ini mudah-mudahan mampu mewadahi sebagian dari rekaman peristiwa kehidupan sebagai pengalaman belajar, yang akan dibawa menuju akhir kehidupan yang baik sesuai keinginan kita (Khusnul Chotimah).